Jumat, 02 September 2016

Tak Perlu Sedih Nak, Kamu Spesial buat Ibu



“Kenapa malah menangis?” demikian pertanyaan saya ketika melihat Wildan menyeka air mata di pipinya.

Ya, memang malam itu saya melihat anak saya menangis ketika sedang mengerjakan PR. Mendengar pertanyaan dari saya, diapun mendekat.

“Peluk” katanya singkat. Saya pun memeluknya dengan erat. Mecoba memberikan kekuata. Sebagai ibu, saya kenal betul karakter anak saya yang satu ini. Aktif, senang sekali ngobrol, namun memiliki perasan yang lembut. Kemudian saya kembali mencoba bertanya, tentang apa yang menjadi penyebab dia tiba-tiba menangis. Dengan terbata-bata diapun menjawab “Wildan tadi berdoa supaya wildan jadi anak yang pinter, jadi nggak dimarahi lagi sama pak Pon”.

“Lho memangnya tadi dimarahi pak guru di sekolah ?” timbul rasa tidak percaya saya. 

“Memangnya pak Pon bilang apa ke Wildan ?” tanya saya lebih lanjut. 

Mulakno nggatekke, gitu kata pak Pon. Apa artinya ? jawab Wildan.

Nggatekke itu artinya Wildan disuruh pak Pon memperhatikan. Barangkali tadi Wildan main-main sendiri. Atau ngobrol dengan teman saat pak Pon menjelaskan” kata saya coba menjelaskan.

(Anak-anak saya memang belum begitu paham dengan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa. Karena mereka sejak lahir tinggal di Pulau Bangka. Sehingga bahasa keseharian yang kami gunakan di rumah adalah bahasa Bangka dan bahasa Indonesia).
“Tapi Wildan sudah memperhatikan bu, cuma Wildan memang belum ngerti” jawabnya lagi.

Saya pun bisa paham dengan apa yang terjadi di dalam kelas. Dan sayapun tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini. Saya paham pak guru dituntut untuk mengajar dengan dikejar target kurikulum. Sedangkan anak saya sendiri ‘berbeda’ dengan teman-teman kebanyakan di kelasnya. 

Ya, saya tau kalau anak saya ‘berbeda’ dengan teman yang lain. Karena tiap-tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Hal ini saya ketahui dari hasil tes kecerdasan majemuk yang pernah ia ikuti saat memasuki bangku Sekolah Dasar (SD). 

Hasil tes tersebut menunjukkan anak saya termasuk dalam anak yang cerdas kinestetik (gerak). Sedangkan dalam kecerdasan logical matematis termasuk kurang. Sementara saat kejaidan itu siswa kelas IV sedang mempelajari tentang hitungan. 

Barangkali ini lah yang menjadi penyebab ‘kemarahan’ pak Pon. Pak Pon ingin anak saya segera mengerti apa yang telah ia ajarkan. Sedangkan di sisi lain, anak saya butuh waktu sedikit lebih lama untuk memahami apa yang baru saja dijelaskan. Namun ya itulah resiko belajar di kelas klasikal. Kecepatan dan kemampuan anak dianggap sama oleh guru. Sehingga anak-anak yang ‘terlambat’ sedikit saja, akan dianggap bodoh. 

Namun berbeda dengan pandangan pak guru, saya lebih percaya dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada anak yang bodoh, anak  hanya butuh alokasi waktu yang berbeda untuk mempelajari sesuatu’. Ada yang cepat, sedang, dan ada juga yang lambat.

Kembali ke cerita percakapan saya dengan Wildan, saya hanya bisa menyampaikan “nggak usah sedih, maksud pak Pon baik. Pak Pon pengen Wildan lebih rajin lagi belajar sama ibu di rumah. Supaya nanti kalau disekolah Wildan lebih mudah ngerti yang diajarkan pak Pon. Kan murid pak Pon banyak. Jadi nggak mungkin kan hanya fokus ngajarin Wildan sendiri”.

“Wildan pengen belajar. Supaya Wildan sukses” jawabnya singkat sambil menyeka air mata.

Ya, sayapun hanya bisa memeluknya. Dalam hati saya yakin, bahwa keinginannya untuk sukses akan dapat terwujud. Dan ada bagian dari tugas saya untuk membantu mewujudkannya.

Jujur saja, dari percakapan singkat ini saya teringat dengan buku yang berjudul ‘Why “A” Student Work For “C” Students and “B” Students Work For Goverment’  yang ditulis oleh Robert Kiyosaki. Buku tersebut menambah keyakinan bagi saya, bahwa siswa-siswa yang secara akademis termasuk dalam golongan “C” saat dewasa nanti justru akan menjadi “owner” pada perusahaan-perusahaan yang pegawainya diisi oleh siswa-siswa yang saat sekolah  termasuk dalam golongan “A”.  

(Sebagaimana kita tau bahwa di sistem pendidikan kita, menggunakan predikat C untuk nilai dalam kategori cukup. Predikat “B” untuk nilai dalam kategori Baik. Dan predikat “A” untuk nilai dalam kategori Amat Baik.)

Memang tidak mudah. Tapi itulah tantangan bagi saya untuk mendampingi anak-anak untuk tumbuh dan mewujudkan cita-cita mereka. Anak-anak ‘spesial’ yang memiliki kecerdasan berbeda dengan orang lain. Namun sayangnya, kebanyakan orang masih beranggapan bahwa anak cerdas adalah anak dengan nilai Matematika amat baik. 

Wallahu A’lam Bishawab.

(InsyaAllah saya akan buat menulis artikel yang terkait dengan topik kali ini, yaitu tentang :
1. Cerita tentang Albert Einstein yang dianggap bodoh
2. Kecerdasan Majemuk, dan
3. Resume buku  ‘Why “A” Student Work For “C” Students and “B” Students Work For Goverment’ untuk saya share kepada pembaca sekalian dalam blog ini).

4 komentar:

  1. Ayooo semangat wildan. Kamu jenius nak... kelak kamu akan seperti einstein juga. Bisa karena belajar nak.

    BalasHapus
  2. Nak.. kerjakanlah dengan bahagiamu.. tak satupun manusia yg ahli tentang banyak hal..

    BalasHapus