“Kenapa malah menangis?” demikian
pertanyaan saya ketika melihat Wildan menyeka air mata di pipinya.
Ya, memang malam itu saya melihat
anak saya menangis ketika sedang mengerjakan PR. Mendengar pertanyaan dari saya,
diapun mendekat.
“Peluk” katanya singkat. Saya pun
memeluknya dengan erat. Mecoba memberikan kekuata. Sebagai ibu, saya kenal
betul karakter anak saya yang satu ini. Aktif, senang sekali ngobrol, namun
memiliki perasan yang lembut. Kemudian saya kembali mencoba bertanya, tentang
apa yang menjadi penyebab dia tiba-tiba menangis. Dengan terbata-bata diapun
menjawab “Wildan tadi berdoa supaya wildan jadi anak yang pinter, jadi nggak
dimarahi lagi sama pak Pon”.
“Lho memangnya tadi dimarahi pak
guru di sekolah ?” timbul rasa tidak percaya saya.
“Memangnya pak Pon bilang apa ke
Wildan ?” tanya saya lebih lanjut.
“Mulakno nggatekke, gitu kata pak Pon. Apa artinya ? jawab Wildan.
“Nggatekke itu artinya Wildan disuruh pak Pon memperhatikan.
Barangkali tadi Wildan main-main sendiri. Atau ngobrol dengan teman saat pak
Pon menjelaskan” kata saya coba menjelaskan.
(Anak-anak saya memang belum
begitu paham dengan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa. Karena mereka sejak lahir
tinggal di Pulau Bangka. Sehingga bahasa keseharian yang kami gunakan di rumah
adalah bahasa Bangka dan bahasa Indonesia).
“Tapi Wildan sudah memperhatikan
bu, cuma Wildan memang belum ngerti” jawabnya lagi.
Saya pun bisa paham dengan apa
yang terjadi di dalam kelas. Dan sayapun tidak menyalahkan siapa-siapa dalam
masalah ini. Saya paham pak guru dituntut untuk mengajar dengan dikejar target
kurikulum. Sedangkan anak saya sendiri ‘berbeda’ dengan teman-teman kebanyakan
di kelasnya.
Ya, saya tau kalau anak saya
‘berbeda’ dengan teman yang lain. Karena tiap-tiap anak memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda. Hal ini saya ketahui dari hasil tes kecerdasan majemuk yang
pernah ia ikuti saat memasuki bangku Sekolah Dasar (SD).
Hasil tes tersebut menunjukkan anak
saya termasuk dalam anak yang cerdas kinestetik (gerak). Sedangkan dalam kecerdasan
logical matematis termasuk kurang. Sementara saat kejaidan itu siswa kelas IV
sedang mempelajari tentang hitungan.
Barangkali ini lah yang menjadi
penyebab ‘kemarahan’ pak Pon. Pak Pon ingin anak saya segera mengerti apa yang
telah ia ajarkan. Sedangkan di sisi lain, anak saya butuh waktu sedikit lebih
lama untuk memahami apa yang baru saja dijelaskan. Namun ya itulah resiko
belajar di kelas klasikal. Kecepatan dan kemampuan anak dianggap sama oleh
guru. Sehingga anak-anak yang ‘terlambat’ sedikit saja, akan dianggap bodoh.
Namun berbeda dengan pandangan
pak guru, saya lebih percaya dengan ungkapan bahwa ‘tidak ada anak yang bodoh,
anak hanya butuh alokasi waktu yang
berbeda untuk mempelajari sesuatu’. Ada yang cepat, sedang, dan ada juga yang lambat.
Kembali ke cerita percakapan saya
dengan Wildan, saya hanya bisa menyampaikan “nggak usah sedih, maksud pak Pon
baik. Pak Pon pengen Wildan lebih rajin lagi belajar sama ibu di rumah. Supaya
nanti kalau disekolah Wildan lebih mudah ngerti yang diajarkan pak Pon. Kan murid
pak Pon banyak. Jadi nggak mungkin kan hanya fokus ngajarin Wildan sendiri”.
“Wildan pengen belajar. Supaya
Wildan sukses” jawabnya singkat sambil menyeka air mata.
Ya, sayapun hanya bisa
memeluknya. Dalam hati saya yakin, bahwa keinginannya untuk sukses akan dapat
terwujud. Dan ada bagian dari tugas saya untuk membantu mewujudkannya.
Jujur saja, dari percakapan
singkat ini saya teringat dengan buku yang berjudul ‘Why “A” Student Work For “C” Students and “B” Students Work For
Goverment’ yang ditulis oleh Robert
Kiyosaki. Buku tersebut menambah keyakinan bagi saya, bahwa siswa-siswa yang
secara akademis termasuk dalam golongan “C” saat dewasa nanti justru akan
menjadi “owner” pada perusahaan-perusahaan yang pegawainya diisi oleh
siswa-siswa yang saat sekolah termasuk
dalam golongan “A”.
(Sebagaimana kita tau bahwa di sistem pendidikan kita, menggunakan
predikat C untuk nilai dalam kategori cukup. Predikat “B” untuk nilai dalam
kategori Baik. Dan predikat “A” untuk nilai dalam kategori Amat Baik.)
Memang tidak mudah. Tapi itulah
tantangan bagi saya untuk mendampingi anak-anak untuk tumbuh dan mewujudkan
cita-cita mereka. Anak-anak ‘spesial’ yang memiliki kecerdasan berbeda dengan
orang lain. Namun sayangnya, kebanyakan orang masih beranggapan bahwa anak cerdas
adalah anak dengan nilai Matematika amat baik.
Wallahu A’lam Bishawab.
(InsyaAllah saya akan buat menulis artikel yang terkait dengan topik kali ini, yaitu tentang :
1. Cerita tentang Albert Einstein yang dianggap bodoh
2. Kecerdasan Majemuk, dan
3. Resume buku ‘Why “A” Student Work For “C” Students and “B” Students Work For Goverment’ untuk saya share kepada pembaca sekalian dalam blog ini).
1. Cerita tentang Albert Einstein yang dianggap bodoh
2. Kecerdasan Majemuk, dan
3. Resume buku ‘Why “A” Student Work For “C” Students and “B” Students Work For Goverment’ untuk saya share kepada pembaca sekalian dalam blog ini).
Ayooo semangat wildan. Kamu jenius nak... kelak kamu akan seperti einstein juga. Bisa karena belajar nak.
BalasHapustq tante....
BalasHapusNak.. kerjakanlah dengan bahagiamu.. tak satupun manusia yg ahli tentang banyak hal..
BalasHapusTq tante....
Hapus