Rabu, 17 Agustus 2016

Cerita Inspiratif 1 : Kaisar Pandir

Kaisar Pandir

Ada seorang kaisar yang hanya peduli pada pakaian alias penampilan luaran. Suatu hari, dua orang penipu ulung meyakinkan kaisar kalau mereka bisa merancang adibusana dari kain paling anggun. Hanya kaum miskin dan bodoh yang tidak bisa melihat kain istimewa itu. Kaisar mengutus dua orang kepercayaannya untuk menyelidiki kehebatan kain itu. Kain itu sebenarnya tidak ada. Kendati demikian, kedua penasihat tidak mau berterus terang kepada kaisar. Mereka justru memuji setinggi langit kain itu. 

Rumor kain ajaib segera menyeruak ke segala penjuru kekaisaran. Kaisar memperbolehkan para penipu mendandani kaisar dengan setelan baru untuk prosesi mengelilingi kota. Kaisar sesungguhnya menyadari kalau dirinya hendak ditelanjangi. Namun, dia tidak mau mengakui. Dia tidak mau dianggap miskin dan bodoh oleh rakyat.

Segenap warga kota menyanjung kemegahan adibusana kaisar. Warga rupanya takut berterus terang kalau kaisar berparade telanjang menunggang kereta. Kehebohan pecah, ketika seorang bocah polos berteriak "Kaisar Telanjang !".

Orangtua si bocah terkesiap. Mulut anaknya dibungkam rapat-rapat. Si bocah terus meronta, tidak mau tinggal diam.

Teman-teman si bocah polos itu ikut-ikutan berseru. Kerumunan orang dewasa pun mulai gaduh dan berisik. " Anak-anak benar ! lelaki tua itu tidak mengenakan selembar penang pun. Dia pandir. Kaisar berharap kita rakyatnya sama dungunya dengan dia". Kaisar tidak memperdulikan teriakan dan suitan kerumunan massa yang mencibirnya. Dia terus mengangkat kepala tinggi-tinggi dan menyelesaikan prosesi.

Cerita diatas, saya kutip dari buku "Mendidik Pemenang Bukan Pecundang" yang ditulis oleh Dhitta Puti Sarasvati dan J. Sumardianta. Dalam buku tersebut, mereka mengkritisi tentang sistem pendidikan, khususnya pada sistem penilaian, yang berlangsung di sekolah-sekolah di tanah air. Penilaian semata-mata didasarkan pada aspek pengetahuan. Dimana siswa akan dengan mudah mendapatkan nilai tinggi hanya dengan modal mengetahui materi yang sebelumnya telah disampaikan oleh guru. Jika jawaban yang diberikan oleh siswa saat ulangan sama dengan yang disampaikan oleh guru, otomatis siswa akan mendapatkan nilai tinggi. Begitu juga sebaliknya. 
Hal tersebut berlangsung terus menerus mulai dari pendidikan dasar (Sekolah Dasar) hingga pendidikan tinggi. Sehingga diakhir setiap jenjang pendidikan, siswa, orang tua dan guru sangat mengidamkan nilai ujian nasional (UN) tinggi. Begitupun di pendidikan tinggi, mahasiswa akan merasa sangat puas lulus dengan IPK selangit. Namun, apakah nilai selangit itu mampu mencerminkan kemampuan lulusan yang sebenarnya ? Jika iya, lantas mengapa masih banyak pengangguran di Indonesia.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penganguran terbuka pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang. Sedangkan berdasarkan taraf pendidikannya, tingkat pendidikan tertinggi justru disumbang oleh lulusan dari Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) yang mencapai 9,84 persen.(Sumber Tempo). Miris memang. Namun demikianlah adanya. Pendidikan Kejuruan yang diselenggarakan untuk menyiapkan lulusan siap kerja, justru malah menyumbangkan jumlah pengangguran terbanyak.
Namun, hal tersebut lebih baik dijadikan sebagai cermin dari hasil pengajaran yang berlangsung di dalam kelas. Guru harus terus mengevaluasi pengajaran yang telah dilakukan. Apakah selama ini lebih banyak mengajarkan tentang teori, sehingga siswa hanya sekedar tau (learning to know). Atau lebih banyak mengajarkan praktik, sehingga siswa lebih terampil dalam bekerja (learning to do). Lulusan SMK seharusnya lebih dipersiapkan untuk menguasai kompetensi sesuai dengan program keahlian yang ditekuni, dibandingkan hanya memusingkan perolehan nilai Ujian Nasional (UN) yang selangit, namun kurang bermakna karena hanya didasarkan pada hapalan teori dasar yang dangkal.

Wallahu A'lam Bishawab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar